A.
Pengertian Perilaku Menyimpang
Perilaku
menyimpang yang juga biasa dikenal dengan nama penyimpangan sosial adalah
perilaku yang tidak sesuai dengan nilai-nilai kesusilaan atau kepatuhan, baik
dalam sudut pandang kemanusiaan (agama) secara individu maupun pembenarannya
sebagai bagian daripada makhluk sosial.
Definisi Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia perilaku menyimpang diartikan sebagai tingkah laku, perbuatan, atau tanggapan seseorang terhadap lingkungan yang bertentangan dengan norma-norma dan hukum yang ada di dalam masyarakat.
Definisi Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia perilaku menyimpang diartikan sebagai tingkah laku, perbuatan, atau tanggapan seseorang terhadap lingkungan yang bertentangan dengan norma-norma dan hukum yang ada di dalam masyarakat.
Pengertian
Perilaku Menyimpang Menurut Para Ahli
1. Lewis Coser
Mengemukakan
bahwa perilaku menyimpang merupakan salah satu cara untuk menyesuaikan
kebudayaan dengan perubahan sosial.
2. Lemert
Penyimpangan dibagi menjadi dua bentuk yaitu Penyimpangan Primer (Primary Deviation) dan Penyimpangan Sekunder (secondary deviation).
Penyimpangan dibagi menjadi dua bentuk yaitu Penyimpangan Primer (Primary Deviation) dan Penyimpangan Sekunder (secondary deviation).
3. Soerjono Soekanto
Penyimpangan terhadap kaidah-kaidah & nilai-nilai dalam masyarakat.
Penyimpangan terhadap kaidah-kaidah & nilai-nilai dalam masyarakat.
4. J.J. Mancionis
Pelanggaran terhadap norma masyarakat.
Pelanggaran terhadap norma masyarakat.
5. Horton dan Hunt
Perilaku
menyimpang adalah perilaku yang dinyatakan sebagai suatu pelanggaran terhadap
norma kelompok/masyarakat.
6. Becker
Perbuatan
disebut menyimpang apabila perbuatan itu dinyatakan menyimpang, sehingga
penyimpangan bukanlah kualitas dari suatu tindakan melainkan konsekuensi atau
akibat dari adanya peraturan dan diterapkannya sanksi-sanksi oleh
masyarakat
7. FREUD
Menurut Freud, perilaku menyimpang adalah perilaku yang terjadi apabila id yg berlebihan (tidak terkontrol) muncul bersamaan dengan superego yang tidak aktif,
Menurut Freud, perilaku menyimpang adalah perilaku yang terjadi apabila id yg berlebihan (tidak terkontrol) muncul bersamaan dengan superego yang tidak aktif,
B.
Faktor
Pendorong Perilaku
Menyimpang
Banyak faktor atau kondisi yang
dapat menyebabkan timbulnya perilaku menyimpang, baik berasal dari dalam diri
individu, maupun dari pengaruh luar diri individu tersebut. Sebagai contoh,
dalam studi Lewin mengungkapkan bahwa 90 % anak-anak yang bersifat jujur
berasal dari keluarga yang keadaannya stabil dan harmonis, sedagkan 75 %
anak-anak pembohong berasal dari keluarga yang tidak harmonis atau disebut broken home. Adapun faktor-faktor yang
penyebab terjadinya perilaku menyimpang dijelaskan sebagai berikut.
a. Faktor
dari dalam Individu
1)
Potensi kecerdasan yang rendah
2)
Mempunyai masalah yang kompleks dan
tidak dapat ditanggulangi diri
3)
Mengalami kesalahan beradaptasi di
lingkungan tempat tinggal
4)
Tidak menemukan figure yang tepat untuk
dijadikan pedoman dalam berkehidupan sehari-hari.
b. Faktor
dari luar individu
1) Lingkungan
keluarga
a) Kekacauan
dalam kehidupan keluarga (broken home)
b) Kurangnya
pengawasan dari orang tua
c) Kesalahan
cara orang tua dalam mendidik
d) Tidak
mendapat perlakuan yang sesuai dalam keluarga
2) Lingkungan
sekolah
a) Longgarnya
disiplin sekolah
b) Kesalahan
dalam sistem pendidikan sekolah
c) Perlakuan
guru yang tidak adil terhadap siswa
d) Kecenderungan
sekolah memandang kontribusi orang tua
e) Perlakuan
otoriter yang diterapkan guru-guru sekolah
3) Lingkungan
masyarakat
a) Kurangya
partisipasi masyarakat dalam menanggulangi perilaku menyimpang remaja
dilingkungan masyarakat
b) Kemajuan
teknologi informasi yang pesat menyebabkan kebablasan informasi bagi remaja
c) Banyaknya
masyarakat yang cenderung mencontohkan perbuatan yang dilarang dan bahkan
kriminal
d) Kerusakan
moral dalam komplek tempat tinggal.
C.
Jenis-Jenis
atau Wujud Perilaku Menyimpang
Sudarsono, 1991 dalam bukunya
Kenakalan remaja mengatakan Juvenille Delinquency secara estimologis dapat
diartikan sebagai kejahatan anak, akan tetapi pengertian tersebut memberikan
konotasi yang cenderung negative atau negative sama sekali. Atas pertimbangan
yang lebih moderat dan mengingat kepentingan subyek, maka beberapa ilmuwan
memberanikan diri untuk mengartikan Juvenille Delinquency sebagai kenakalan
remaja. Psikolog Drs. Bimo Walgito merumuskan arti selengkapnya dari kenakalan
remaja sebagai berikut : tiap perbuatan, jika perbuatan tersebut dilakukan oleh
orang dewasa maka perbuatan tersebut merupakan kejahatan, jadi merupakan
perbuatan yang melawan hukum, yang dilakukan anak, khususnya anak remaja.
Dr Fuad Hasan dalam B. Simanjuntak
juga memberikan definisi kenakalan remaja sebagai perbuatan anti sosial yang
dilakukan anak remaja yang bilamana dilakukan orang dewasa dikualifikasikan
sebagai kejahatan. Dari kedua pengertian di atas, Sudarsana menarik benang
merah diantara keduanya yaitu, kenakalan remaja adalah perbuatan atau kejahatan
atau pelanggaran yang dilakukan oleh anak remaja yang bersifat melawan hukum
anti sosial, anti susila dan menyalahi norma-norma agama.
Ada banyak sekali jenis kenakalan
yang telah dilakukan remaja pada saat ini, oleh karena itu ada pengelompokkan
kenakalan remaja di dalam seperti yang diungkapkan Sudarsono :
1. Kejahatan
dengan kekerasan, termasuk didalamnya pembunuhan dan penganiayaan
2. Kejahatan
Pencurian, baik itu pencurian biasa maupun pencurian dengan pemberatan
3. Penggelapan
4. Penipuan
5. Pemerasan
6. Gelandangan
7. Pemerkosaan
8. Kejahatan
Narkotika, termasuk didalamnya memakai dan mengedarkan narkotika.
D.
Dampak
Perilaku Menyimpang
Apa yang akan terjadi
jika perilaku menyimpang pada remaja semakin merebak? Jelas situasi ini akan
mengganggu keseimbangan dalam berbagai segi kehidupan. Konformitas tidak
tercapai, keamanan dan kenyamanan menjadi terganggu. Oleh karena itu, berbagai
pihak berusaha mengantisipasi meningkatnya perilaku menyimpang dengan berbagai
cara. Dampak yang timbul dari perilaku menyimpang ini ibarat pedang bermata
dua. Artinya, baik pelaku maupun masyarakat sekitar merasakan dampak dari
perilaku menyimpang tersebut.
Setiap
orang yang melakukan perilaku menyimpang oleh masyarakat akan dicap sebagai
penyimpang (devian). Hal ini dikarenakan setiap tindakan yang bertentangan dengan norma yang berlaku dalam masyarakat
dianggap sebagai penyimpangan dan, harus ditolak. Individu pelaku penyimpangan
tersebut akan dikucilkan dari masyarakat. Pengucilan kepada pelaku penyimpangan
dilakukan masyarakat supaya pelaku penyimpangan menyadari kesalahannya.
Pengucilan ini dapat terjadi di segala bidang, baik hukum, adat atau budaya. Pengucilan
secara hukum melalui penjara, kurungan dan sebagainya. Kondisi ini membuat
perkembangan jiwa si pelaku menjadi terganggu. Seseorang yang ditolak dalam
masyarakat jiwanya menjadi tertekan secara psikologis. Timbul rasa malu,
bersalah, bahkan penyesalan dalam diri individu tersebut. Inilah dampak
perilaku menyimpang bagi diri si pelaku.
Perilaku
menyimpang berdampak pula terhadap kehidupan masyarakat. Pertama, meningkatnya
angka kriminalitas dan pelanggaran terhadap norma-norma dalam kehidupan. Hal
ini dikarenakan setiap tindak penyimpangan merupakan hasil pengaruh dari
individu lain, sehingga tindak kejahatan akan muncul berkelompok dalam
masyarakat. Misalnya seorang residivis dalam penjara akan mendapatkan kawan
sesama penjahat. Keluarnya dari penjara dia akan membentuk "kelompok
penjahat". Akibatnya akan meningkatkan kriminalitas.
Selain
itu perilaku menyimpang dapat pula mengganggu keseimbangan sosial serta
memudarnya nilai dan norma yang berlaku dalam masyarakat. Perilaku menyimpang
yang tidak mendapatkan sanksi tegas dan jelas akan memunculkan sikap apatis
pada pelaksanaan nilai-nilai dan norma dalam masyarakat. Akibatnya nilai dan
norma menjadi pudar kewibawaannya untuk mengatur tata tertib dalam masyarakat.
Pada akhirnya nilai dan norma tidak dipandang sebagai aturan yang mengikat
perilaku masyarakat. Dampak Perilaku Penyimpangan Sosial
Berbagai bentuk perilaku menyimpang yang ada di
masyarakat akan membawa dampak bagi pelaku maupun bagi kehidupan masyarakat
pada umumnya.
1. Dampak Bagi Pelaku
Berbagai bentuk perilaku menyimpang yang dilakukan
oleh seorang individu akan memberikan dampak bagi si pelaku. Berikut ini
beberapa dampak tersebut.
a)
Memberikan
pengaruh psikologis atau penderitaan kejiwaan serta tekanan mental terhadap
pelaku karena akan dikucilkan dari kehidupan masyarakat atau dijauhi dari
pergaulan.
b)
Dapat
menghancurkan masa depan pelaku penyimpangan.
c)
Dapat menjauhkan
pelaku dari Tuhan dan dekat dengan perbuatan dosa.
d)
Perbuatan yang
dilakukan dapat mencelakakan dirinya sendiri.
2. Dampak Bagi Orang Lain/Kehidupan Masyarakat
Perilaku penyimpangan juga membawa dampak bagi orang
lain atau kehidupan masyarakat pada umumnya. Beberapa di antaranya adalah
meliputi hal-hal berikut ini.
a)
Dapat mengganggu
keamanan, ketertiban dan ketidakharmonisan dalam masyarakat.
b)
Merusak tatanan
nilai, norma, dan berbagai pranata sosial yang berlaku di masyarakat.
c)
Menimbulkan
beban sosial, psikologis, dan ekonomi bagi keluarga pelaku.
d)
Merusak
unsur-unsur budaya dan unsur-unsur lain yang mengatur perilaku individu dalam
kehidupan masyarakat.
E. Teori dan Pandangan Terhadap
Kehidupan Remaja
1. Teori
"Differential Association"
Teori
ini dikembangkan oleh E. Sutherland yang didasarkan pada arti penting proses
belajar. Menurut Sutherland perilaku menyimpang yang dilakukan remaja
sesungguhnya merupakan sesuatu yang dapat dipelajari. Asumsi yang melandasinya
adalah “a criminal act occurs when
situation apropriate for it, as defined by the person, is present” (Rose
Gialombardo; 1972). Selanjutnya menurut Sutherland perilaku menyimpang dapat
ditinjau melalui sejumlah proposisi guna mencari akar permasalahan dan memahami
dinamika perkembangan perilaku.
Proposisi tersebut antara lain: Pertama, perilaku remaja merupakan perilaku yang dipelajari secara
negatif dan berarti perilaku tersebut tidak diwarisi (genetik). Jika ada salah
satu anggota keluarga yang berposisi sebagai pemakai maka hal tersebut lebih
mungkin disebabkan karena proses belajar dari obyek model dan bukan hasil
genetik. Kedua, perilaku menyimpang
yang dilakukan remaja dipelajari melalui proses interaksi dengan orang lain dan
proses komunikasi dapat berlangsung secara lisan dan melalui bahasa isyarat. Ketiga, proses mempelajari perilaku
biasanya terjadi pada kelompok dengan pergaulan yang sangat akrab. Dalam
keadaan ini biasanya mereka cenderung untuk kelompok di mana ia diterima
sepenuhnya dalam kelompok tersebut. Termasuk dalam hal ini mempelajari
norma-norma dalam kelompok. Apabila kelompok tersebut adalah kelompok negatif
niscaya ia harus mengikuti norma yang ada. Keempat,
apabila perilaku menyimpang remaja dapat dipelajari maka yang dipelajari
meliputi: teknik melakukannya, motif atau dorongan serta alasan pembenar
termasuk sikap. Kelima, arah dan
motif serta dorongan dipelajari melalui definisi dari peraturan hukum. Dalam
suatu masyarakat terkadang seseorang dikelilingi oleh orang-orang yang secara
bersamaan memandang hukum sebagai sesuatu yang perlu diperhatikan dan dipatuhi.
Tetapi kadang sebaliknya, seseorang dikelilingi oleh orang-orang yang memandang
bahwa hukum sebagai sesuatu yang memberikan peluang dilakukannya perilaku
menyimpang. Keenam, seseorang
menjadi delinkuen karena ekses dari pola pikir yang lebih memandang aturan
hukum sebagai pemberi peluang dilakukannya penyimpangan daripada melihat hukum
sebagai sesuatu yang harus diperhatikan dan dipatuhi. Ketujuh, diferential association bervariasi dalam hal frekuensi, jangka
waktu, prioritas dan intensitasnya. Delapan,
proses mempelajari perilaku menyimpang yang dilakukan remaja menyangkut seluruh
mekanisme yang lazim terjadi dalam proses belajar. Terdapat stimulus-stimulus
seperti: keluarga yang kacau, depresi, dianggap berani oleh teman dan sebagainya
merupakan sejumlah elemen yang memperkuat respon. Sembilan, perilaku menyimpang yang dilakukan remaja merupakan
pernyataan akan kebutuhan dan dianggap sebagai nilai yang umum.
2. Teori
Anomie
Teori
ini dikemukakan oleh Robert. K. Merton dan berorientasi pada kelas. Konsep
anomi sendiri diperkenalkan oleh seorang sosiolog Perancis yaitu Emile Durkheim
(1893), yang mendefinisikan sebagai keadaan tanpa norma (deregulation) di dalam
masyarakat. Keadaan deregulation atau normlessness tersebut kemudian
menimbulkan perilaku deviasi. Oleh Merton konsep ini selanjutnya diformulasikan
untuk menjelaskan keterkaitan antara kelas sosial dengan kecenderungan adaptasi
sikap dan perilaku kelompok. Adanya perbedaan kelas sosial menimbulkan adanya
perbedaan tujuan dan sarana yang dipilih. Kelompok masyarakat kelas bawah
(lower class) misalnya, memiliki kesempatan yang lebih kecil dibandingkan
dengan kelompok masyarakat kelas atas. Keadaan tersebut terjadi karena tidak
meratanya kesempatan dan sarana serta perbedaan struktur kesempatan. Akibatnya
menimbulkan frustrasi di kalangan anggota masyarakat. Dengan demikian
ketidakpuasan, frustrasi, konflik, depresi, dan penyimpangan perilaku muncul
sebagai akibat kurangnya atau tidak adanya kesempatan untuk mencapai tujuan.
Berkaitan
dengan perilaku menyimpang yang dilakukan remaja, dapat dikemukakan bahwa teori
ini lebih memfokuskan pada kesalahan atau 'penyakit' dalam struktur sosial
sebagai penyebab terjadinya kasus perilaku menyimpang remaja. Teori ini juga
menjelaskan adanya tekanan-tekanan yang terjadi dalam masyarakat sehingga
menyebabkan munculnya perilaku menyimpang (deviance).
3. Teori
Kenakalan Remaja oleh Albert K. Cohen
Fokus
perhatian teori ini terarah pada suatu pemahaman bahwa perilaku delinkuen
(menyimpang) banyak terjadi di kalangan laki-laki kelas bawah yang kemudian
membentuk 'gang'. Perilaku delinkuen merupakan cermin ketidakpuasan terhadap
norma dan nilai kelompok kelas menengah yang cenderung mendominasi. Karena
kondisi sosial ekonomi yang ada dipandang sebagai kendala dalam upaya mereka
untuk mencapai tujuan sesuai dengan keinginan mereka sehingga menyebabkan
kelompok usia muda kelas bawah ini mengalami 'status frustration'. Menurut
Cohen para remaja umumnya mencari status. Tetapi tidak semua remaja dapat
melakukannya karena adanya perbedaan dalam struktur sosial.
Remaja dari kelas bawah cenderung tidak
memiliki materi dan keuntungan simbolis. Selama mereka berlomba dengan remaja
kelas menengah kemudian banyak yang mengalami kekecewaan. Akibat dari situasi
ini anak-anak tersebut banyak yang membentuk 'gang' dan melakukan perilaku
menyimpang yang bersifat 'non multilitarian, nonmalicious and
nonnegativistick'. Cohen melihat bahwa perilaku delinkuen merupakan bentukan
dari subkulktur terpisah dari sistem tata nilai yang berlaku pada masyarakat
luas. Subkultur merupakan sesuatu yang diambil dari norma budaya yang lebih
besar tetapi kemudian dibelokkan secara berbalik dan berlawanan arah. Perilaku
delinkuen selanjutnya dianggap benar oleh sistem tata nilai sub budaya mereka,
sementara perilaku tersebut dianggap keliru oleh norma budaya yang lebih besar
dan berlaku di masyarakat.
4. Teori
Perbedaan Kesempatan dari Cloward dan Ohlin
Menurut
Cloward dan Ohlin terdapat lebih dari satu cara bagi para remaja untuk mencapai
aspirasinya. Pada masyarakat urban yang merupakan wilayah kelas bawah terdapat
berbagai kesempatan yang sah, yang dapat menimbulkan berbagai kesempatan.
Dengan demikian kedudukkan dalam masyarakat menentukan kemampuan untuk berpartisipasi
dalam mencapai sukses baik melalui kesempatan konvensional maupun kesempatan
kriminal.
Menunit Cloward dan Ohlin terdapat 3
jenis sub kultur tipe gang kenakalan remaja. Pertama, criminal subculture,
bilamana masyarakat secara penuh berintegrasi, gang akan berlaku sebagai
kelompok para remaja yang belajar dari orang dewasa. Hal ini berkaitan dengan
organisasi kriminal. Kriminal sub kultur lebih menekankan pada aktivitas yang
menghasilkan keuntungan materi dan berusaha menghindari kekerasan. Kedua, a retreatist
subculture. Sub kultur jenis ini lebih banyak melakukan kegiatan mabuk-mabukan
dan aktivitas gang lebih mengutamakan pencarian uang untuk tujuan mabuk-mabukan
termasuk juga melakukan konsumsi terhadap narkoba. Ketiga, conflict sub
culture. Dalam masyarakat yang tidak terintegrasi akan menyebabkan lemahnya
organisasi. Gang tipe ini akan memperlihatkan perilaku yang bebas. Kekerasan,
perampasan, hak milik dan perilaku lain menjadi tanda gang tersebut. Para
remaja akan melakukan kenakalan jika menghadapi keadaan tegang, menghadapi
tekanan-tekanan serta keadaan yang tidak normal.
5. Teori Netralisasi yang dikembangkan oleh Matza
dan Sykes
Menurut
teori ini orang yang melakukan perilaku menyimpang disebabkan adanya
kecenderungan untuk merasionalkan norma-norma dan nilai-nilai menurut persepsi
dan kepentingan mereka sendiri. Penyimpangan perilaku dilakukan dengan cara
mengikuti arus pelaku lainnya melalui sebuah proses pembenanan (netralisasi).
Berbagai bentuk netralisasi yang muncul pada orang yang melakukan perilaku
menyimpang. Pertama, the denial of responsibility, mereka
menganggap dirinya sebagai korban dan tekanan-tekanan sosial, misalnya
kurangnya kasih sayang, pergaulan dan lingkungan yang kurang baik dan
sebagainya. Kedua, the denial of injury, mereka
berpandangan bahwa perbuatan yang dilakukan tidak mengakibatkan kerugian besar
di masyarakat. Ketiga, the denial of victims, mereka biasanya
menyebut dirinya sebagai pahlawan, dan menganggap dirinya sebagai orang yang
baik dan berada. Keempat, condemnation of the condemnesr, mereka
beranggapan bahwa orang yang mengutuk perbuatan mereka adalah orang yang
munafik, hipokrit atau pelaku kejahatan terselubung. Kelima, appeal to higher
loyalitiy, mereka beranggapan bahwa dirinya terperangkap antara kemauan masyarakat
luas dan hukum dengan kepentingan kelompok kecil atau minoritas darimana mereka
berasal atau tergabung misalnya kelompok gang atau saudara kandung.
6. Teori
Kontrol
Teori
ini beranggapan bahwa individu dalam masyarakat mempunyai kecenderungan yang sama
kemungkinannya yakni tidak melakukan penyimpangan perilaku (baik) dan
berperilaku menyimpang (tidak baik). Baik tidaknya perilaku individu sangat
bergantung pada kondisi masyarakatnya. Artinya perilaku baik dan tidak baik
diciptakan oleh masyarakat sendiri (Hagan, 1987). Selanjutnya penganut paham
ini berpendapat bahwa ikatan sosial seseorang dengan masyarakat dipandang
sebagai faktor pencegah timbulnya perilaku menyimpang termasuk penyalahgunaan
narkotika, alkohol dan zat adiktif lainnya.
Seseorang
yang terlepas ikatan sosial dengan masyarakatnya akan cenderung berperilaku
bebas untuk melakukan penyimpangan. Manakala dalam masyarakat lembaga kontrol
sosial tidak berfungsi secara maksimal maka akan mengakibatkan melemahnya atau
terputusnya ikatan sosial anggota masyarakat dengan masyarakat secara
keseluruhan dan akibatnya anggota masyarakat akan leluasa untuk melakukan
perilaku menyimpang. Menurut Hirsehi (1988) terdapat 4 (empat) unsur dalam
ikatan sosial antara lain:
Pertama,
attachment, mengacu pada kemampuan
seseorang untuk melibatkan dirinya terhadap orang lain. Jika attachment sudah
terbentuk maka seseorang akan peka terhadap pikiran, perasaan dan kehendak
orang lain.
Kedua,
commitment, mengacu pada keterikatan
seseorang pada subsistem konvensional seperti lembaga, sekolah, pekerjaan,
organisasi dan sebagainya. Perhitungan untung rugi keterlibatan seseorang dalam
perilaku menyimpang sangat diperhatikan. Artinya ketika lembaga atau pekerjaan
memberikan manfaat dan keuntungan bagi seseorang maka kecil kemungkinan untuk
melakukan perilaku menyimpang.
Ketiga,
involvement, mengacu pada suatu
pemikiran bahwa apabila seseorang disibukkan atau berperan aktif dalam berbagai
kegiatan konvensional atau pekerjaan maka ia tidak akan sempat berpikir apalagi
terlibat dalam perilaku menyimpang.
Keempat,
beliefs, mengacu pada kepercayaan
atau keyakinan seseorang pada nilai atau kaidah kemasyarakatan yang berlaku.
Kepercayaan terhadap norma atau aturan yang ada akan sangat mempengaruhi
seseorang bertindak mematuhi atau melawan peraturan yang ada.
Menurut
Hirschi keempat unsur ikatan sosial tersebut harus terbentuk dalam masyarakat.
Jika unsur-unsur tersebut tidak terbentuk maka penyimpangan perilaku termasuk
penyalahgunaan berbagai jenis narkotika, alkohol dan zat adiktif lainnya
berpeluang besar untuk dilakukan oleh masyarakat luas khususnya anggota
masyarakat pada usia remaja atau dewasa awal.
Daftar
Pustaka
http://massofa.wordpress.com/2008/03/28/teori-teori-umum-tentang-perilaku-menyimpang/
Comments
Post a Comment